PERTANYAAN
Bagaimana hukumnya menjaga parkiran dan menarik restribusi di tempat yang bukan milik kita?
JAWABANNYA:
Bekerja sebagai penjaga parkir di lahan milik sendiri tentu boleh saja boleh ya.
Dalam Islam, layanan parkir ini dimasukkan ke dalam konsep
penitipan barang, yang dikenal sebagai hukum wadi’ah. Ini terjadi karena juru
parkir memiliki tanggung jawab untuk menjaga mobil dan kendaraan lainnya dengan
sebaik mungkin, sesuai amanah yang diberikan kepadanya. Selain itu, mereka juga
diharuskan mengganti kerugian jika kendaraan yang dititipkan tidak dijaga
dengan baik.
(والوديعة
أمانة) في يد الوديع (وعليه) الوديع (أن يحفظها في حرز مثلها) فإن لم يفعل ضمن
Artinya, "Dan penitipan barang adalah amanah di tangan
orang yang diberi titipan barang, dan ia harus menjaga barang titipan dengan
penjagaan semestinya. Apabila ia tidak melakukannya maka harus mengganti
rugi." (Fathul Qarib, [Dar Ibnu Hazm Beirut:
2005], halaman 213).
Dalam konteks akad wadi’ah, Syekh Wahbah Az-Zuhaili
mengizinkan juru parkir yang mengenakan tarif parkir, asalkan barang titipan
membutuhkan tempat khusus untuk disimpan. Dengan demikian, tarif parkir
dianggap sebagai biaya sewa tempat penyimpanan.
رابعاً طلب الأجرة على حفظ الوديعة:
إذا طلب الوديع أجرة على حفظ الوديعة، لم يكن له ذلك، إلا أن تكون مما يشغل منزله،
فله كراؤه
Artinya, "Keempat, meminta upah atas menjaga barang
titipan: ketika wadi’ meminta upah atas menjaga harta, ia tidak boleh berbuat
demikian kecuali barang tersebut memenuhi tempatnya (orang yang diberi titipan
barang) maka ia boleh mengambil upah (dengan akad sewa tempat)." (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Dar Fikr: 1999], juz V,
halaman 4033).
Namun, perlu dicatat bahwa wadi’ah pada dasarnya adalah
perbuatan tabarru’ atau berbuat baik tanpa meminta imbalan. Jika akad wadi’ah
mensyaratkan adanya upah, maka ia berubah menjadi akad ijarah (sewa), yang
membutuhkan kriteria jangka waktu penyewaan atau pekerjaan tertentu.
وقضيته أن له أن يأخذ أجرة الحفظ كما
يأخذ أجرة الحرز وهو كذالك كما هو ظاهر كلام الأصحاب خلافا للفاروقي وابن أبي عصرون
Artinya, "Dan permasalahannya adalah orang yang diberi
titipan barang boleh mengambil upah menjaga barang titipan. Ia juga boleh
mengambil upah menyimpan barang titipan. Hal ini sebagaimana lahiriah pendapat
Al-Ashab (murid-murid imam Syafi’i). Berbeda dengan pendapat Al-Faruqi dan Ibnu
Abi ‘Ashrun." (Nihayahtul Muhtaj, [Beirut, Darul
Fikr: 1984], juz VI, halaman 111).
Bagaimana jika di lahan orang lain atau lahan tak berizin?
Penting untuk diingat bahwa menarik tarif parkir pada lahan
orang lain tanpa izin atau ada izin tapi melebihi ketetapan pemerintah adalah haram dan
dianggap sebagai dosa besar. Rasulullah saw. melarang praktik muksu (pungutan
liar) ini.
قَالَ رسول الله لاَ يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Artinya, "Rasulullah saw bersabda, 'Tidaklah masuk
surga orang yang menarik pungutan liar'." (HR Abu Dawud). Imam an-Nawawi
menjelaskan bahwa menarik pungutan liar adalah perbuatan yang sangat buruk,
merugikan masyarakat, dan menyebabkan kegelapan moral.
أَنَّ الْمَكْس مِنْ أَقْبَح
الْمَعَاصِي وَالذُّنُوب الْمُوبِقَات ، وَذَلِكَ لِكَثْرَةِ مُطَالَبَات النَّاس
لَهُ وَظِلَامَاتهمْ عِنْده ، وَتَكَرُّر ذَلِكَ مِنْهُ وَانْتِهَاكه لِلنَّاسِ
وَأَخْذ أَمْوَالهمْ بِغَيْرِ حَقّهَا وَصَرْفهَا فِي غَيْر وَجْههَا
Artinya, "Menarik pungutan liar adalah paling buruknya
maksiat dan dosa yang menghancurkan. Hal ini karena banyaknya meminta-minta
pada masyarakat dan menganiaya mereka. Ini terjadi berulang-ulang dan merusak
masyarakat, mengambil harta mereka tanpa hak dan mengalokasikan harta bukan
pada tempatnya." (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih
Muslim, [Beirut, Dar Ihya Turats: 2003], juz XI, halaman 203).
Jadi, dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa poin penting, yaitu: Jasa parkir adalah akad wadi’ah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Tukang parkir memiliki kewajiban untuk mengganti rugi jika tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Menarik tarif parkir tanpa izin atau melampaui ketetapan pemerintah adalah ilegal dan diharamkan sebagai pungutan liar.