PERTANYAAN
Sebagian
masyarakat kita, terutama di jawa memiliki adat melakukan
selametan pada hari ketiga, ketujuh dan seterusnya setelah kerabatnya meninggal.
Pertanyaannya, sebenarnya bagaimanakah hukum mengadakan selametan pada hari ketiga, ketujuh dan seterusnya setelah seseorang meninggal pandangan
fiqh ?
JAWABAN :
Adat mengadakan selametan pada hari ketiga, ketujuh dan seterusnya
setelah seseorang meninggal yang mentradisi di tengah-tengah masyarakat kita
adalah Bidah; tidak dijumpai pada masa Rasulallah. Namun selama tidak
mengandung sesuatu yang bertentangan dengan syariat untuk menangisi kepergian
mayit, maka hukumnya boleh.
Baca keterangan Imam Ibnu Hajar dan Sayyid Bakri berikut
(فتاوى كبرى ج ۲ ص ۷)
(وَسُئِلَ) أَعَادَهُ اللهُ
عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يَذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَيَحْمِلَ مَعَ
مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ اِلَى الْمَقْبَرَةِ وَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحُفَار
فَقَطْ وَعَمَّا يَعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ
وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يَعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ
كَذَلِكَ وَعَمَّا يَعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَاُر
بِهِ عَلىَ بُيُوْتِ النِّسَاءِ الَّتِى حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَلمَ ْيَقْصِدُوْا
بِذَلِكَ إِلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إِنْ لمَ ْيَفْعَلْ
ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَهُ حَسِيْسًا لَا يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَهَلْ إِذَا
قَصَدَ بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدَّقَ فىِ غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ
مُجَرَّدَ اْلعَادَةِ مَاذَا يَكوُنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ . وَهَلْ
يُوَزَّعُ ماَ صُرِفَ عَلَى أَنْصَابِ اْلوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ
وَإِنْ لمَ ْيَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيـَِّتِ
اِلىَ مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ ؟
(فَأَجَابَ) َيقُوْلُ جَمِيْعُ مَا يَفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِى السُّؤَالِ
مِنَ اْلبِدَعِ اْلمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيْهِ إِلَّا إِنْ فُعِلَ
شَيْئٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْئٍ
مِنْهُ دَفْعَ سُنَّةِ الْجُهَالِ وَخَوْضِهِمْ فِى عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ
يُرْجَى أَنْ يَكْتُبَ لَهُ ثَوَابَ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِى الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ
وَعَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ لَوِ انْصَرَفَ عَلَى
غَيْرِ هَذِهِ اْلكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوْزُ أَنْ يَفْعَلَ شيَئْ ٌمِنْ ذَلِكَ
مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانَ
كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لمَ ْيَرْضَ بَعْضُهُمْ.
Artinya
:
“BELIAU DITANYA” -semoga Allah mengembalikan
barokahnya kepada kita-. Tentang hewan yang di sembelih dan di
masak kemudian di bawa di belakang mayit
menuju kuburan untuk di sedekahkan kepada para penggali kubur saja, dan tentang
yang di lakukan pada hari ketiga dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang di lakukan
pada hari ke tujuh, serta yang di lakukan pada genap sebulan dengan pemberian
roti yang di edarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziah
jenazah.
Mereka
melakukan semua itu tujuannya hanya
sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau
melakukannya akan di benci oleh mereka dan ia akan merasa di acuhkan. Kalau
mereka melakukan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan pahala akhirat,
maka bagai mana hukumnya ? Apakah harta yang telah di tasarufkan atas keinginan
ahli waris itu masih ikut di bagi/di hitung dalam pembagian tirkah, walaupn
sebagian ahli waris yag lain tidak senang pentasarufan tirkah bertujuan sebagai
sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematianya. Sebab,
tradisi demikian , menurut anggapan masyarakat harus di laksanakan seperti
”wajib” bagaimanakah hukumnya?
BELIAU MENJAWAB : semua
yang dilakukan sebagai mana yang ditanyakan
di atas termasuk bid’ah yang tercela tapi tidak sampai haram (namun
makruh) kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit itu bertujuan untuk “
meratapi” atau memuji secara berlebihan, dan tatkala melakukan prosesi tersebut
guna menangkal “ocehan” orang-orang bodoh dan
memperbincangkan dirinya
disebabkan tidak mengikiuti, maka di harapkan ia mandapatkan pahala,
berdasarkan perintah Nabi pada seseorang yang batal salatnya (karena hadats)
untuk menutup hidungnya dengan tangan
(seakan-akan hidungnya keluar darah) ini demi untuk menjaga kehormatan
diriny, jika ia berbuat di luar kbiasaan masyarakat.
Tirkah
tidak boleh diambil/dikurangi sekira terdapat ahli waris yang mahjur ‘alaih
(orang yang tercegah dari pentasarufan seperti anak kecil dan orang gila) atau
ahli waris sudah pandai-pandai namun sebagian ahli waris tidak merestui prosesi tersebut di ambilkan dari
tirkah.
(إعانة الطالبين ج 2 ص 145)
(سُؤَالٌ) مَا
حُكْمُ تَهْيِئَةِ الْأَطْعِمَةِ مِنْ أَهْلِ الْمَيِّتِ لِضِيَافَةِ
اْلمُعِزِّيْنَ يَوْمَ الْوَفَاتِ أَوْ غَيْرِهِ وَقَصَدَ بِذَلِكَ التَّصَدُّقِ
عَنِ الْمَيِّتِ فَهَلْ لَهُمْ ثَوَابُ ذَلِكَ التَّصَدَّقُ أَوْلَا ؟
(جَوَابٌ) أَنَّ تَهْيِئَةَ الْأَطْعِمَةِ يَوْمَ الْوَفَاتِ أَوْ ثَالِثِ
أَيَّامِهَا أَوْ سَابِعِهَا مَكْرُوْهَةٌ مِنْ حَيْثُ اْلإِجْتِمَاعِ
وَالتَّخْصِيْصِ وَتِلْكَ اْلكَرَاهَةِ لَاتُزِيْلُ ثَوَابَ الصَّدَقَةِ .
“PERTANYAAN” Apa hukum penyuguhan makanan dari pihak keluarga
mayit pada orang-orang yang ta’ziah di hari wafat atau selainnya dan hal itu di
lakukan bertujuan sedekah atas nama mayit. Apakah keluarga mayit mendapatkan
pahala dari sedekahnya tersebut ?
“JAWABAN” Penyuguhan makanan di hari wafat atau hari ketiga
dan ke tujuh itu hukumnya makruh di tinjau dari perkumpulan dan penentuan
waktu, namum kemakruhan tersebut tidak sampe menghilangkan pahala sedekah.